1. Tuliskan kandungan dari surah At Tinn!
2. Carilah Dalil dalil tentang menuntut ilmu dari Qur'an dan Hadits, masing masing 3!
3. Tuliskan nama nama hari kiamat, Nama lain kiamat dan Dalil dalil tentang Kiamat!
Jawab
1. Surah At Tinn adalah Surah yang ke 95 dalam Al Qur'an. At tinn memiliki arti "Buah Tinn".
Pada ayat Pertama dijelaskan bahwa, " Demi Buah Tinn dan Buah Zaitun."
. Manusia diciptakan sebagai khalifah dengan bentuk yang sebaik baiknya dibandingkan dengan makhluk lain. Kitalah sebagai makhluk yang memiliki pemikiran yang dapat menggunakan dari apa yang Allah SWT ciptakan tersebut. Barang Siapa manusia yang mengerjakan amal kebajikan maka ia akan mendapat balasan yang paik. Sedangkan yang tidak berbuat kebajikan maka ia mendapat balasan yang setimpal pula. Itulah kandungan surah At Tinn.
2. -Hadits atau Dalil yang Pertama
" Dari anas r.a. Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya mencari ilmu diwajibkan atas setiap Muslim, sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap sayapnya bagi penuntut ilmu karena rida kepada apa yang dicarinya." (HR Ibnu Abdul Barr)
-Hadits atau Dalil kedua
" Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: sebaik baik dunia dan akhirat harus dengan Ilmu dan sejelek jeleknya dunia dan akhirat tanpa Ilmu." (HR dailami)
-Hadits atau Dalil ketiga
" Dari Abi Hurairah r.a. bahwasannya rasulullh saw. bersabda Tuntutlah Ilmu dan carilah ilmu yang menentramkan dan sopan. Dan hormatilah Guru yang mengajarkan ilmu kepadamu dan murid-muridnya. Dan janganlah kamu termasuk golongan, orang- orang yang sombong kepada Ulama, sebab orang-orang yang bodoh akan meremehkan pengetahuanmu." (HR Dailami)
Dalam surah al-Mujadilah juga dijelaskan bahwa,
" Allah akan mengangkat derajat orang orang yang beriman diantara kalian dan orang orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Dari ketiga hadits diatas dapat diuraikan bahwa, Barang siapa yang muslim maka diwajibkan untuk menuntut ilmu baik laki-laki maupun Perempuan. Siapa yang menuntut Ilmu maka ia berada di atas 1 tingkat orang yang tidak mempunyai Ilmu. kita juga harus menuntut ilmu yang Duniawi dan Ukhrawi yaitu untuk Dunia dan Akhirat. Kita juga harus menghargai orang lain yaitu Guru kita sebagaimana kita menghargai Orang tua kita. Karena merekLh awal kita mendapatkan ilmu pengetahuan.
3. Nama nama hari Kiamat yaitu:
. Yaumul qiyamah = Hari kebangkitan.
2. Assa'ah = Waktu.
3. Yaumul Akhir = Hari Akhir.
4. Yaumuddin = Hari akhir ( agama ).
5. Yaumul fasli = Hari keputusan.
6. Yaumul Hisab = Hari perhitungan.
7. Yaumul Fathi = Hari pengadilan.
8. Yaumuth Thalaq = Hari perpisahan.
9. Yaumul Jam'i = Hari pengumpulan.
10 Yaumul Hulud = Hari kekekalan.
11.Yaumul Huruj = Hari Keluar.
12.Yaumul Ba'tsi = Hari Kebangkitan.
13. Yaumul Hasrah = Hari penyesalan.
14. Yaumuttanad = Hari pemanggilan.
15. Yaumul azifah = Hari mendekat.
16. Yaumuttaghobun = Hari terbukanya � aib.
17. Al-Qori'ah = Bencana yang menggetarkan.
18. Al-Ghosiyah = Bencana yang tak tertahankan.
19. Ash-Shokhoh = Bencana yang memilukan.
20. Ath-Thommah = Bencana yang melanda.
21. Al-Haqqoh = Kebenaran besar.
22. Al-Waqiah = Peristiwa besar.
-tanda-tanda kiamat:
1. Banyak penjahat memimpin orang yang baik.
2. Banyak kemewahan yang di luar batas.
3. Pertempuran besar antara 2 golongan.
4. Banyak orang mengaku jadi nabi / dapat wahyu.
5. Banyak bencana alam.
6. Fatwa-fatwa ulama jahat yang menyesatkan.
7. Hilangnya ahli agama.
8. Banyak fitnah kepada ummat Islam.
9. Ibu / ayah sudah dianggap sebagai bawahan oleh putra / putri.
10. Ada ciri-ciri lain yang menjadi pembahasan para ulama ( diperbeda pendapatkan ) seperti :
a. turunnya Isa as.
b. turunnya Dajjal.
c. turunnya Imam Mahdi.
d. matahari terbit di barat dan lain-lain.
c. Gambaran hari qiyamat digambarkan dalam al-Qur'an yang pada dasarnya menunjukkan rusak total seluruh alam ini, dimana bumi dan langit diganti ( Ibrahim 48; al-Qiyamah 6-25; al-Mursalat 8-11; an-Na'ba 17-20; an-Na'ziah 6-14; dan 42-44,99; 1-6; 70; 43; 69:13-18 dan 56' 1-3 ).
d. Kebangkitan total dan terjadi alam Mahsyar serta perlaksanaan pengadilan terbuka ( al-Waqiah 60-62; al-Haj 5-7; az-Zilzal 1-8; an-Nur 24-25).
e. Kehidupan abadi di sorga dan neraka.
sumber:google,mayang dela.
Sunday, October 3, 2010
Formatif I semester ganjil, Formatif 2010, Formatif agama islam2010
Posted by nurul febrian at 4:56 AM 0 comments
Labels: Formatif 1 semester ganjil, Formatif 2010, Formatif agama islam 2010 kelas IX
Thursday, April 22, 2010
Fardhu Kifayah
Fardhu kifayah adalah kewajiban yang di tujukan kepada orang banyak. apabila sebagian dari mereka telah mengerjakannya, maka terlepas dari kewajiban itu. tetapi jika tidak ad seorangpun yang mengerjakannya, maka mereka semua berdosa.
1.cara memandikan mayit.....
syarat wajib mandi:
a. mayat beragama islam
b. ada tubuhnya walaupun sedikit
c. mayat itu bukan mati syahid(mati dalam peperangan untuk membela agam allah)
jika hendak memandikan jenazah, maka jenazah itu harus di tutup auratny jika berumur lebih dari tujuh tahun yang di tutupi adalh daerah antar pusar hingga lutut. kemudian ia melepaskan seluruh bajunya, dan menutupinya dari pndngan orang lain.
kemudian wajah sang mayit kita tutup. tidak boleh ada orang lin hadir dalm pemandian ini, selain seseorang yang membantu kita dalam proses pemandian. disini niat adalah syarat, sedang mengucapkan basmallah adalah sutu kewajiban. setelah itu kita mengangkat kepalanya hingga mendekati posisi duduk. kita memijit perutnya pelan2,pada saat ini kita banyak-banyak menyiramkan air,juga perlu mengasapi ruangan dengan kayu gaharu jika di khawtirkn ada sesuatu yang keluar dari perutnya.
kemudian kita menyiapkn air yang bercampur daun bidara atau becampur sabun pembersih. dan membasuh sekujur tubuhnya dengan sisa air tadi. kemudian kita membasuh bagian samping kanan,lalu samping kiri , di mulai dari kulit lehernya.setelah itu menyiramkan air di sekujur tubuhnya.
2. Bagaimana cara mensholatkan dan permasalahan dalam menyolatkan mayat....
syarat-syarat mengerjakan shalat jenazah adalah:
a)jenazah sudah di mandikan dan di kafani
b)letak jenzah di sebalah kiblat did epan yang menshalati, serta..
c)suci dari hadas dan najis baik badan, pakaian dan tempat
berikut rukun-rukun shalat jenazah....
a. Niat...
lafal niat untuk mayat lelaki sebagai berikut....
usholli alaa haadzal myyiti atba'a takbirootin fardhol kifaayati(mkmuman/imaaman)illahi ta'ala
lafal niat untuk perempuan...
usholli alaa haadzihil mayyiti arba'a birootin fardhol kiffayati(makmuman/imaaaman) illahi ta'ala
b. setelah niat, dilanjutkan takbirotul ikhhram:allahu akbar. lalu membaca surat fatihah. kemudian di smabung dengan takbir kedua:allahu akbar
c. usai takbir kedua, membaca sholawat atas nabi muhammad saw minimal: allhumma sholli alaa muhammadin
d. kemudian takbir ketiga di sambung dengan doa sebagai berkut:
allahummagfirlahu warhamhu wa'afihi wafunhu,(jika perempuan di ganti dengan laha)
e. setelah itu takbir keempat, di sambung dengan soa minimal:
allahumma lathrimna ajrohu wala tahtimna ba'dahuu wagfirlanaa walahu
f. salam
3. Melaksankan farhu kifayah untuk jenazah yang sahid(pembagian jenis-jenis mati sahid dan permasalahannya)
mati syahid adalah orang yang terbunuh dalm peperangan melawan orang kafir untuk menjunjung tinggi agam allah. orang mati syahid itu tidak di mandikan, tidak di sholatakan dn cukup di kafani dengan pakaian yang berlumur darah itu.
menurut pembagian ahli fiqih, syahid itu terbagi ats tiga bagian:
1) syahid di dunia dan akhirat. inilah yang di maksud dengan syahid tsb yang ada di atas
2) syahid di dunia saja, yaitu orang yang mti dalam peperangan melawan orang kafir, tetapi bukan karena untuk menjunjung tinggi agam allah, melainkan karena sebab2 yang lin, misalnya ingin mendapat harta rampasan, karena kemegahan dan sebagainya
3)syahid akhirat saja, yaitu mti teraniaya, mati terkejut, mati kena penyakit kolera, mati tenggelam, mati tertimpa oleh sesuatu, mati kebakaramn, atau mati dalam belajar agama allah
Posted by nurul febrian at 2:37 AM 0 comments
Labels: fardhu kifayah atas mayit, memandikan jenazah, memandikan mayyit, permasalahan mayit dan fardhu kifayah, sholat mayit
Thursday, March 25, 2010
MAKANAN HALAL DAN HARAM
Halal (حلال, halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia, sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia–secara spesifik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.
Haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau keadaan suatu benda (misalnya makanan). Aktivitas yang berstatus hukum haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras. Orang yang melakukan tindakan haram atau makan binatang haram ini akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa.
Jenis Makanan yang Halal dan haram
Makanan yang Halal
Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan dan sebagainya.
Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 17)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah : 168).
“Menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)
Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mu’min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman : Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah Ta’ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian…”. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda : Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah :
- Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan.
- Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
- semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah.
- Binatang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.
Makanan yang Haram
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.
Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah :
-
Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 145 :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah : 3)
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am : 145)
Catatan :
semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang.
semua darah haram kecuali hati dan limpa. -
Semua makanan yang keji, yaitu yang kotor, menjijikan.
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)
-
Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah.
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi (akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf : 33).
-
Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup.
Sabda Nabi SAW : “Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk bangkai”. (HR. Ahmad)
-
Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.
Minuman yang Halal
Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian :
-
Semua jenis aiar atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa, maupun aqidah.
-
Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka.
-
Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis.
-
Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Minuman yang Haram
-
Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya.
Allah berfirman : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al-Baqarah : 219)
Dalam ayat lain Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90)
Nabi SAW bersabda : “Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan sedikit juga tetap haram.” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud dan Turmudzi).
-
Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.
-
Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halan atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Posted by nurul febrian at 6:51 AM 0 comments
Thursday, February 25, 2010
maulit nabi muhammad,sejarah nabi muhammad,kihidupan nabi muhammad,history nabi muahmmad
maulit nabi muhammad,sejarah nabi muhammad,kihidupan nabi muhammad,history nabi muahmmad
Posted by nurul febrian at 4:29 PM 0 comments
Labels: history nabi muahmmad, kihidupan nabi muhammad, maulit nabi muhammad, sejarah nabi muhammad
Saturday, February 6, 2010
TUGAS AGAMA ISLAM Puasa Wajib Dan Puasa Sunnah
Posted by nurul febrian at 6:19 PM 0 comments
Monday, January 18, 2010
penjelasan tentang ananiyah,ghadab,hasad,gibah
Ananiyah
Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain.
Sumber : www.blog.its.ac.id
Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain.
Apakah demi kepentingan dirinya akan mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi pertimbangannya.
Dampak Negatif Dari Sifat Ananiyah
Sifat Ananiyah akan melahirkan sifat Egosentris, artinya mengutamakan kepen-tingan dirinya diatas kepentingan segala-galanya. Mereka melihat hanya dengan sebelah mata bersikap dan mengambil tindakan hanya didorong oleh kehendak nafsu. Nafsulah yang menjadi kendali dan mendominasi seluruh tindaknnya. Standar kebenaranpun ditentukan oleh kepentingan dirinya. Hal semacam ini di larang.
Sumber : www.mentoring98.wordpress.com
Ghadab
GADHAB (baca: ghodhob) secara harfiah memang berarti “marah” atau “pemarah”. Maka, marah dalam pengertian ghodhob bersifat negatif. Tentu saja, sifat pemarah seperti itu dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. Itulah sifat pemarah yang dilarang Allah dan RasulNya.
Tentang hal ini Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah”. (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah).
Marah Negatif & Marah Positif
Dalam kaitan hadis di atas, berarti: “si Fulan tidak sayang kepada si Fulanah”? Tidak. Dalam konteks ini kita harus memahami motif di balik kemarahan itu. Dengan demikian kita akan tahu pasti sifat marah si Fulan kepada si Fulanah. Apakah kemarahannya masuk kategori positif atau negatif.
Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan Allah dan RasulNya.
Beda dengan amarah negatif yang bersumber dari nafsu lawwamah. Itu marah negatif. Sifat semacam itu dilarang oleh Allah dan RasulNya. Jadi, marah positif adalah marah karena Allah (ghodhobullah). Sedang marah negatif adalah marah karena syaitan (ghodhobus syaitan).
Marah Karena Allah
Marah karena Allah (ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali bila ia melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin. Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab, bila orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak lain yang marah ialah Allah.
Sebagaimana dalam sejarah Nabi Hud as dan kaum ‘Aad. Ia marah kepada kaumnya yang tidak mau mengikuti hukum syari’at yang telah Allah tetapkan atas mereka. Juga saat kaumnya diajak menyembah Allah SWT, mereka memperolok-olokkan ajakan Nabi Hud as.
Bahkan mereka menjawab: “Apakah kamu (Hud) datang kepada kami (kaum ‘Aad) agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah adzab kepada kami jikalau kamu temasuk orang-orang yang benar”.
Tak ayal Nabi Hud as menjawab tantangan kaumnya. Seperti terlukis dalam Al Qur’an:
“Ia (Hud) berkata :” Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa adzab dan kemarahan dari Tuhanmu….”
(QS. Al A’raaf: 71)
Sumber : www.snba1992.wordpress.com
Hasad
ada hasad yang timbul maka paksa jiwa anda untuk melawannya. Sembunyikan hasad tersebut, jangan melakukan suatu perbuatan yang menyelisihi syariat. Jangan anda sakiti orang yang anda hasadi, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar menghilangkan perasaan itu dari hati anda niscaya hal itu tidaklah memudaratkan anda. Karena jika (dalam hati) seseorang tumbuh hasad namun ia tidak melakukan apapun sebagai pelampiasan hasadnya itu maka hasad itu tidaklah memudaratkannya. Selama ia tidak melakukan tindakan, tidak menyakiti orang yang didengkinya, tidak berupaya menghilangkan nikmat dari orang yang didengkinya, dan tidak mengucapkan kata-kata yang menjatuhkan kehormatannya. Hasad/rasa dengki itu hanya disimpan dalam dadanya. Namun tentu saja orang seperti ini harus berhati-hati, jangan sampai ia mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan/tindakan yang memudaratkan orang yang didengkinya.
Berkaitan dengan hasad ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Hati-hati kalian dari sifat hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.”2
Sifat hasad itu adalah sifat yang jelek dan sebenarnya menyakiti dan menyiksa pemiliknya sebelum ia menyakiti orang lain. Maka sepantasnya seorang mukmin dan mukminah berhati-hati dari hasad, dengan memohon pertolongan dan pemaafan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang mukmin harus tunduk berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala -demikian pula seorang mukminah- dengan memohon dan berharap kepada-Nya agar menghilangkan hasad tersebut dari dalam hatinya, sehingga tidak tersisa dan tidak tertinggal sedikitpun. Karena itu, kapanpun anda merasa ada hasad menjalar di hati anda, hendaklah anda paksa jiwa anda untuk menyembunyikannya dalam hati tanpa menyakiti orang yang didengki, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Wallahul musta’an.”
(Kitab Fatawa Nur ‘Alad Darb, hal. 131-132)
1 Hasad adalah mengangan-angankan hilangnya nikmat yang diperoleh orang lain, baik berupa nikmat agama ataupun dunia.
Sumber : www.asysyariah.com
Namimah
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kita nikmat yang banyak, kemudian shalawat beserta salam tercurahkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman. Pada edisi yang lalu kita telah jelaskan tentang ghibah, bahayanya dan faktor-faktor pendorong yang akan menyebabkan munculnya ghibah tersebut. Nah pada edisi kali ini kita akan membahas tentang An-Namimah, yang ia merupakan salah satu diantara penyakit lidah yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran, baik rumah tangga, masyarakat dan negara
Pengertian An-Namimah (menebar fitnah) Namimah adalah menukilkan perkataan dua orang yang bertujuan untuk berbuat kerusakan, menimbulkan permusuhan dan kebencian kepada sesama mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Dan janganlah kamu mentaati setiap penyumpah yang hina, yang banyak mencela dan kian kemari menebar fitnah". (QS. al-Qalam: 10-11)
Contoh dari Namimah ini: ketika si A berkata kepada si B tentang si C; bahwa si C itu orangnya tamak, rakus, lalu si B tanpa tabayyun (klarifikasi) menyampaikan kepada si C perkataan si A dengan tujuan agar si C marah dan benci kepada si A, sehingga dengan demikian si B dapat dikatakan sebagai orang yang berbuat Fitnah (Namimah) yaitu sebagai penyebar fitnah.
Hukum Namimah dan dalil-dalilnya Namimah merupakan salah satu dosa besar, dan hukumnya haram karena menimbulkan dampak yang sangat buruk dan sangat merugikan.
Imam Munziri rahimahullah berkata: "Telah sepakat dan Ijma' para ulama bahwa Namimah hukumnya haram dan ia merupakan sebesar-besarnya dosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dalil dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan ini:
1. Surat Al-Qalam ayat 10-11 yang berbunyi: "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah"
2. Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka (orang-orang yang berbuat namimah ini) sebagai orang fasiq, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman jika datang kepada kamu orang-orang fasiq membawa berita maka hendaklah kamu melakukan tabayyun (klarifikasi terlebih dahulu) agar kamu tidak menimbulkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu". (QS. al-Hujurat: 6)
3. Orang yang berbuat hal ini dapat dikatakan sebagai orang yang bermuka dua, dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Engkau dapati sejelek-jeleknya manusia di Hari Kiamat adalah orang yang mempunyai dua wajah, dia datang kepada mereka dengan wajah ini dan kepada orang lain dengan muka yang lain". (HR. Bukhari-Muslim)
4. Seseorang yang berjalan kesana-kemari menyebarkan fitnah, maka kelak Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengazabnya di dalam kubur, hal ini sebagaimana yang dikhabarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Sesungguhnya keduanya pasti akan mendapat azab, tidaklah mereka mendapatkan azab disebabkan karena melakukan perkara-perkara besar, adapun salah satu dari keduanya adalah dia tidak bersuci dari kencing, sedangkan yang lainnya adalah dia berjalan kesana-kemari menyebarkan fitnah kepada manusia". (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, begitu besar bahayanya perbuatan ini dan besarnya azab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan celaan pada pelakunya, maka hendaklah seorang muslim berhati-hati dan waspada dari sifat-sifat ini dan menjauhkan diri dari sifat tercela ini.
Sebab-sebab yang mengantarkan seorang melakukan Namimah :
1. Karena kejahilan terhadap bahaya yang ditimbulkannya, atau dalam kata lain tidak mengerti ilmu Syar'i, sehingga dengan seenaknya tanpa merasa berdosa ia mau melakukan hal tersebut.
2. Disebabkan hasad atau iri dan dengki yang akan menyebabkan seseorang mencari jalan untuk menyebarkan fitnah.
3. Hati yang kotor jauh dari bimbingan Syariat, sehingga tidak tampak baginya kebenaran. Ia merasa puas kalau sekiranya orang lain saling bermusuhan, saling membenci. Oleh karena itu, bagi orang yang kotor dan sakit hatinya maka namimah merupakan suatu jalan baginya untuk mengotori hatinya.
4. Karena berteman dengan orang-orang yang suka berbuat namimah, sehingga menyebabkan dia terdorong dan terpancing untuk melakukan namimah tersebut.
Obat dari penyakit Namimah
1. Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena itu orang yang ikhlas dalam beribadah sulit tergoyahkan dan mempunyai pendirian, sehingga dia berfikir seribu kali sebelum berbuat.
2. Mengenal hakekat Namimah, dampaknya dan jalan keluarnya. Semua ini tentu dengan belajar dan menuntut ilmu syar'i, hadir di majlis-majlis ilmu, karena dengan hadirnya seseorang di majlis-majlis ilmu, maka akan membuat hatinya bersih dan hilangnya penyakit hatinya.
3. Berteman dengan orang-orang yang Sholeh. Teman akan mempengaruhi watak seseorang, karena apabila seseorang ingin tahu seseorang lihat siapa yang menjadi teman akrabnya.
4. Selalu Muraqabah, Muraqabah adalah salah satu sifat mulia, dimana seseorang yang senantisa muraqabah kepada Allah,maka dia akan merasakan bahwa dirinya merasa diawasi Oleh Allah,karena dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, tidak satupun yang luput dari pengetahuannya. Dengan sifat ini maka dia merasa takut untuk berbuat Namimah. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "...dan dia bersama kamu dimana saja kamu berada". (QS.al-Hadiid: 4)
5. Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala supaya terhindar dari perbuatan ini, karena manusia itu lemah, maka perlu baginya untuk memohon bantuan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sikap seorang muslim kepada orang yang suka berbuat Namimah
1. Tidak membenarkan perkataan orang yang berbuat namimah, karena dengan membenarkannya maka jelas akan terjadi kerusakan, kebencian, permusuhan dan berbagai macam fitnah lainnya.
2. Melarangnya berbuat namimah. Dengan cara menasehatinya, janganlah kita berbuat namimah dan menyebarkannya. Dengan bersikap seperti itu berarti kita telah mencegahnya dari berbuat kerusakan, dan berarti kita telah beramal ma'ruf nahi munkar.
3. Membencinya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena maksiyat yang dilakukannya.
4. Tidak boleh langsung berburuk sangka kepada saudaranya yang tidak ada di hadapannya, karena buruk sangka akan menjadi pemicu bagi seseorang berbuat nanimah dan meyebarkan fitnah.
5. Tidak boleh mencari-cari kesalahan atasnya, karena mencari-cari kesalahan juga menjadi pemicu munculnya berbagai macam fitnah.
6. Ketika seseorang tidak suka kepada penyebar fitnah, tentu dia tidak akan menghiraukan sehingga fitnah itu tidak terjadi.
Sumber : www.dareliman.or.id
Gibah
Ghibah ialah mempergunjingkan orang lain tentang aib lain atau sesuatu yang apabila didengar oleh orang dibicarakan dia akan benci. Dalam sebuah ayat Allah menggambarkan laksana orang memakan daging saudara yang sudah mati. Allah berfirman. .lihat al-Qur’an online di google
.Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”( QS. Al Hujurat : 12)
Sumber : www.hbis.wordpress.com
Salah satu perbuatan yang bisa menghapuskan pahala puasa Ramadhan adalah bergunjing (ghibah) di siang hari. Perbuatan ini berakibat dosa sekaligus menghilangkan pahala (kebaikan) dari puasa orang yang melakukannya.
Berkumpulnya beberapa orang di waktu yang kosong atau suasana santai sering kali membuka peluang untuk terjadinya pergunjingan. Biasanya objek pergunjingan sedang tidak berada di tempat tersebut, sehingga para penggunjing dengan leluasa menggunjingkannya. Bahkan chat di internet seperti Wikimuers biasa lakukan juga berpotensi menjadi sarana berghibah.
Dalil yang menyebutkan tentang ghibah
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12)
Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah atau menggunjing. Begitu pula seperti yang telah ditafsirkan pengertiannya oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta.
Ghibah yang dibolehkan
Beberapa ulama membolehkan ghibah untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :
1. Mengajukan kedzaliman yang dilakukan oleh orang lain.
Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili si dzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan (menyebutkan namanya) itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.
2. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran.
Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka dengan demikian dia akan menasehatinya dan melarangnya berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.
Sumber : www.wikimu.com
copy paste:rini hardiyanti
Posted by nurul febrian at 4:34 AM 0 comments
namimah
Namimah (Adu Domba)
Penulis: Ummu Rummaan
Berbicara mengenai bahaya lisan memang tidak ada habisnya. Lisan, hanya ada satu di tubuh, tapi betapa besar bahaya yang ditimbulkan olehnya jika sang pemilik tak bisa menjaganya dengan baik. Ada pepatah yang mengatakan “mulutmu adalah harimaumu”, ini menunjukkan betapa bahayanya lisan ketika kita tidak menjaganya, sedangkan pepatah jawa mengatakan ajining diri ono ing lati, yang maknanya bahwa nilai seseorang ada pada lisannya, nilainya akan baik jika lisannya baik, atau sebaliknya.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jaminan surga pada seorang muslim yang dapat menjamin lisannya. Dari Sahal bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menjamin untukku apa yang ada di antara kedua dagunya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan/farji), maka aku akan menjamin untuknya surga.” (HR. Al-Bukhari)
Salah satu bentuk kejahatan lisan adalah namimah (adu domba). Kata adu domba identik dengan kebencian dan permusuhan. Sebagian dari kita yang mengetahui bahaya namimah mungkin akan mengatakan, “Ah, saya tidak mungkin berbuat demikian…” Tapi jika kita tak benar-benar menjaganya ia bisa mudah tergelincir. Apalagi ketika rasa benci dan hasad (dengki) telah memenuhi hati. Atau meski bisa menjaga lisan dari namimah, akan tetapi tidak kita sadari bahwa terkadang kita terpengaruh oleh namimah yang dilakukan seseorang. Oleh karena itu kita benar-benar harus mengenal apakah itu namimah.
Definisi Namimah
Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan bahwa namimah tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan.
Hukum dan Ancaman Syariat Terhadap Pelaku Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam: 10-11)
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba).” (HR. Al Bukhari)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka. Maksudnya adalah ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah untuk tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal mempraktekkan sihir -ed).
Pelaku namimah juga diancam dengan adzab di alam kubur. Ibnu Abbas meriwayatkan, “(suatu hari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu berkata, lalu bersabda, “Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama, tidak membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari)
Sikap Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan enam perkara berikut:
1. Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
2. Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.
3. Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4. Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5. Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang didengarnya.
6. Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.
Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”
Bagaimana Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
Ya ukhty, janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah. Karena betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi karena timbulnya hasad di hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak memendam hasad (kedengkian) kepada saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah adalah akhlaq tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar kaum muslimin bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata kecuali yang baik.
Semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita dari kejahatan lisan kita dan tidak memasukkan kita ke dalam golongan manusia yang merugi di akhirat dikarenakan lisan yang tidak terjaga, “Allahumma inni a’uudzubika min syarri sam’ii wa min syarri bashori wa min syarri lisaanii wa min syarri maniyyii.” (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, lisanku, hatiku dan kejahatan maniku.)
Ghibah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.
[sunting] Ghibah Keji Dan Kotor
Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya". (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)
[sunting] Keutamaan Mencegah Gibah
Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya. "Artinya : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya". (Hadits Riwayat Ahmad, 6/450, hahihul Jami'. 6238)
Hasad
unduk | Akhlaq, Mimbar Jum'at | Wednesday, May 27th, 2009
Dosa hasad merupakan dosa yang pertama dilakukan iblis yang enggan tunduk memberi penghormatan kepada Adam as sehingga ia dikutuk Allah SWT. Sedang dosa yang pertama muncul di bumi ialah dosa yang dilakukan Qabil karena hasad kepada saudaranya sendiri yang bernama Habil. Habil dibunuh Qabil yang hasad karena iri akan nikmat yang diperoleh Habil yang qurbannya diterima Allah SWT.
Di dalam Al-Quran dikisahkan:
Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurutyangsebenarnya, ketika keduanya memper-sembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).
la berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”
Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.
“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam”.
“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim”.
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya.
Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini? ” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal
(QS. Al-Maidah[5]: 27-31).
Oleh karena itu, dalam QS. Al-Falaq [113] ayat 5 Allah S WT menginformasikan kepada kita untuk senantiasa memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan orang yang hasad apabila ia hasad.
Hasad mempunyai pengertian secara bahasa berarti dengki, benci. Sedangkan menurut istilah yaitu membenci nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada orang lain, dengan keinginan agar nikmat yang didapat orang tersebut segera hilang atau terhapus.
Lebih jauh para pakar mengemukakan pengertian hasad sebagai berikut:
1. Menurut Al-Jurjani Al-Hanafi dalam kitabnya, hasad ialah menginginkan atau mengharapkan hilangnya nikmat dari orang yang didengki (mahsud) supaya berpindah kepadanya (orang yang mendengki atau hasad).
2. Menurut Imam al-Ghazali hasad ialah membenci nikmat Allah SWTyang ada pada diri orang lain, serta menyukai hilangnya nikmat tersebut.
3. Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya hasad ialah kerja emosional yang berhubungan dengan keinginan agar nikmat yang diberikan Allah S WT kepada seseorang dari hamba-Nya hilang dari padanya. Baik cara yang dipergunakan oleh orang yang dengki itu dengan tindakan supaya nikmat itu lenyap dari padanya atas dasar iri hati, atau cukup dengan keinginan saja. Yang jelas motif dari tindakan itu adalah kejahatan.
Bila kita simak dengan seksama pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, nampak dengan jelas bahwa perilaku hasad atau dengki adalah penyakit rohani, yang akan sangat mempengaruhi eksistensi amal kebaikan yang dilakukan seseorang.
Hal ini sebagaimana dinyatakan Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap hasad (dengki), karena sesungguhnya sikap hasad itu memakan (menghabiskan) kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan (menghabiskan) kayu bakar“. (HR. Abu Daud -Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Yang sangat menarik dari redaksional hadits di atas adalah kata hasad dalam bentuk mufrad (singular) dan hasanaat dalam bentuk jamak (plurat), ini artinya satu kali berbuat hasad akan berakibat kepada rusaknya amal-amal kebaikan yang pernah dilakukan.
Oleh karena itu prilaku hasad sebagaimana diutarakan diatas adalah termasuk satu dari jenis-jenis per-buatan yang terlarang. Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu sekalian saling menghasud, saling membenci, saling memata-matai, saling membukakan aib, saling tipu dan saling menjatuhkan, tapi jadilah kamu sekalian hamba Allah yang bersaudara“. (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra.).
Kendati demikian, perlu diketahui bahwa ada pula prilaku hasad yang dibolehkan, karena berdampak positif, yang dalam istilah lainnya disebut dengan al-ghibtah. Hasad dalam arti al-ghibtah ini dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw:
“Tidak boleh hasad kecuali dalam dua hal, yaitu (hasad kepada) orang-orang yang diberi kemampuan (membaca) al-Quran oleh Allah, lalu dia menegakkan (melaksanakan membaca) al-Quran baik diwaktu siang ataupun malam dan (hasad kepada) orang-orang yang diberi harta oleh Allah lalu dia infakkan baik diwaktu malam ataupun diwaktu siang“. (HR Muslim).
Ghadab
Ditulis oleh trijokobs di/pada April 22, 2008
GADHAB (baca: ghodhob) secara harfiah memang berarti “marah” atau “pemarah”. Maka, marah dalam pengertian ghodhob bersifat negatif. Tentu saja, sifat pemarah seperti itu dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. Itulah sifat pemarah yang dilarang Allah dan RasulNya.
Tentang hal ini Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah”. (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah).
Marah Negatif & Marah Positif
Dalam kaitan hadis di atas, berarti: “si Fulan tidak sayang kepada si Fulanah”? Tidak. Dalam konteks ini kita harus memahami motif di balik kemarahan itu. Dengan demikian kita akan tahu pasti sifat marah si Fulan kepada si Fulanah. Apakah kemarahannya masuk kategori positif atau negatif.
Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan Allah dan RasulNya.
Beda dengan amarah negatif yang bersumber dari nafsu lawwamah. Itu marah negatif. Sifat semacam itu dilarang oleh Allah dan RasulNya. Jadi, marah positif adalah marah karena Allah (ghodhobullah). Sedang marah negatif adalah marah karena syaitan (ghodhobus syaitan).
Marah Karena Allah
Marah karena Allah (ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali bila ia melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin. Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab, bila orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak lain yang marah ialah Allah.
Sebagaimana dalam sejarah Nabi Hud as dan kaum ‘Aad. Ia marah kepada kaumnya yang tidak mau mengikuti hukum syari’at yang telah Allah tetapkan atas mereka. Juga saat kaumnya diajak menyembah Allah SWT, mereka memperolok-olokkan ajakan Nabi Hud as.
Bahkan mereka menjawab: “Apakah kamu (Hud) datang kepada kami (kaum ‘Aad) agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah adzab kepada kami jikalau kamu temasuk orang-orang yang benar”.
Tak ayal Nabi Hud as menjawab tantangan kaumnya. Seperti terlukis dalam Al Qur’an:
“Ia (Hud) berkata :” Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa adzab dan kemarahan dari Tuhanmu….”
(QS. Al A’raaf: 71)
Sejarah Islam juga mencatat peristiwa saat Nabi Musa as pergi ke Gunung Thur untuk memenuhi panggilan Allah. Ia meninggalkan kaumnya dan mempercayakan pada adiknya, Nabi Harun as.
Namun, tanpa sepengetahuan Nabi Musa as kaumnya kemudian membuat berhala dari emas, yang dibentuk menjadi seekor anak lembu untuk sesembahan. Setelah Musa kembali menemui kaumnya, alangkah kaget dan sedihnya ia. Berkatalah Musa as:
“Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergian-ku! Apakah kamu hendak mendahului Tuhanmu?”.
Sambil marah-marah, Nabi Musa as melempar Kitab Taurat ke hadapan kaumnya, sementara tangannya meraih kepala Nabi Harun as, adiknya. Nabi Musa meminta pertanggungjawaban Nabi Harun as atas peristiwa yang menimpa kaumnya.
Namun, dengan sabar Nabi Harun as menjelaskan duduk masalahnya. Katanya:
“Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku. Sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”.
Setelah mendengar penjelasan Nabi Harun as tentang peristiwa itu, redalah amarah Nabi Musa as.
“Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (taurat) itu .. (QS. Al A’raaf: 154)
Kemarahan Nabi Yunus & Rasulullah SAW
Nabi Yunus as juga seorang Rasul Allah yang sudah jelas ma’sum (terpelihara dari dosa). Namun, ternyata ia juga sempat tergores sifat ghodhob yang menjurus ke negatif, walaupun hanya terhadap kaumnya.
Karena luapan sifat amarah, Nabi Yunus sempat pergi meninggalkan kaum yang mendurhakainya. Namun, sadar bahwa dirinya dikuasai luapan rasa marah terhadap kaumnya, kemudian ia berdoa dan menghukum dirinya sendiri sebagai orang yang zalim:
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap:”Bahwa tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. 21:87).
Siti ‘Aisyah ra juga pernah berkata:
“Biasanya Rasulullah saw manakala menyuruh sahabat-sahabatnya, disuruh mereka mengerjakan amalan-amalan yang sekiranya mereka sanggup mengerjakannya”. Kemudian para sahabat berkata :”Ya Rasulullah, kami ini tidak seperti Anda. Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah lalu dan yang akan datang”.
Mendengar ucapan para sahabat, Rasulullah saw marah. Sebagaimana tersurat dalam Hadis:
“Maka marahlah Rasulullah saw sehingga kelihatan dimukanya tanda kemarahan, kemudian beliau mengatakan; sesungguhnya yang paling taqwa dan lebih mengetahui kepada Allah di antara kamu sekalian adalah aku.” (HR. Bukhari dari ‘Aisyah ra).
Sekilas peristiwa dalam sejarah Nabi Hud as., Musa as, Yunus as, dan Rasulullah saw, jelaslah bahwa mereka marah bukan karena nafsu lawwamah yang bersifat ghodhob, tetapi karena Allah SWT.
Maka amarah itu tidak mengurangi kema’suman mereka. Sebab mereka “marah karena Allah”.
Beda dengan kita yang selalu cenderung kepada perbuatan mesum bukan ma’sum dan senantiasa dikuasai sifat marah.
Sifat marah para Nabi dan Rasul adalah atas dasar kasih sayang. Sebab mereka tidak tega jika umat atau kaumnya mendapat azab akibat perbuatan mereka. Mereka marah karena mereka tahu bahwa Allah marah terhadap orang-orang semacam itu. Maka kemarahan mereka atas dasar Allah. Atau bisa juga dikatakan: “Yang marah pada hakikatnya Allah”
Takutlah Kepada Allah
Telah dijelaskan, Nabi Yunus as sempat tergores sifat marah, tetapi bukan marah yang dimaksud ghodhob atau sifat nafsu lawwamah sepeperti umumnya manusia biasa. Ia marah karena umatnya tidak mau mengikuti seruannya. Artinya, marah karena Allah. Tetapi ia masih juga terkena hardik Allah.
Marah karena Allah adalah marah yang positif. Sebab hal tersebut berdasarkan kesadaran akidah dan amal ibadah. Itu berarti, layak bagi seorang Rasul memarahi umatnya yang melanggar syari’at.
Memang, kebenaran harus disampaikan secara berani. Tidak boleh takut. Sebagaimana firman Allah: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridha’anNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepadaKu. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 48:29 dan QS.4:44).
Marah Karena Setan
Apa pula yang dimaksud ghodhobus-syaitan (marah karena setan)? Ialah:
“Tidak seorang marah melainkan terdorong oleh kebutuhan syahwat duniawi”. Maksudnya ialah marah yang diselimuti kemaksiatan atas dasar hembusan nafsu lawwamah bersifat ghodhob.
Sifat ghodhob itu senantiasa meliputi jiwa orang-orang yang cenderung ingin menguasai sarana kehidupan dunia. Itulah suatu kemaksiatan batin. Sebentuk aniaya bagi dirinya. Dan disebut marah karena setan sebab marahnya tidak berlandaskan norma-norma ajaran Islam.
Setan itu dari bangsa jin. Ada pula yang dari bangsa manusia. Maka jika ada orang marah-marah karena tidak tercukupi urusan syahwatnya, itulah setan dari bangsa manusia yang sedang marah-marah!
Marah sebagai hembusan ghodhob atau sifat nafsu lawwamah tentu merupakan marah negatif. Si pemarah atas dasar nafsu tersebut layak disebut setan. “Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api”, demikian Hadis Nabi. (HR. Ahmad, Abu dawud).
Amarah Qabil
Benih sifat ghodhob di dalam jiwa manusia akan tumbuh bila ada pasokan “pupuk” yang menyuburkannya. Pasokan “pupuk” tersebut lewat pancaindera yang tertampung pada bejana gharizah, naluri hewani.
Naluri tersebut menampung limbah yang mengairi ladang jiwa berbenih ghodhob. Setelah sifat itu tumbuh subur, akan tampak “bunga”nya berupa tabiat buruk. Buahnya adalah “amarah karena setan”.
Itulah marah negatif yang datangnya dari setan jenis manusia. Sebagaimana Qabil marah pada Habil adiknya yang akan dinikahkan dengan Iklimah, saudari kembarnya yang cantik dan amat dicintainya.
Qabil tidak setuju dengan hukum (undang-undang) pernikahan yang telah ditetapkan Allah pada zamannya. Kemarahan Qabil terhadap Habil memuncak setelah keputusan Allah turun: Habil boleh menikah dengan Iklimah saudari kembarnya Qabil.
Karena dikuasai sifat ghodhob yang bersumber dari nafsu lawwamah, serta merta Qabil membunuh Habil. Sejarah mencatat, peristiwa Qabil dan Habil adalah peristiwa pembunuhan pertama kali di muka bumi. Penyebabnya ialah sifat ghodhob yang tak terkendali.
Firaun & Musa
Ingat Fir’aun? Si Raja lalim itu pernah marah pada anak angkatnya: Nabi Musa as. Alkisah, ketika Musa masih kecil dan ditimang-timang, tiba-tiba bocah itu menjambak janggut Fir’aun. Tak ayal, amarah sang Raja meluap. Nyaris saja si raja lalim itu membunuh Musa as. Tetapi istrinya melerai dengan bujuk rayu yang menghibur.
Kemarahan Fir’aun pada Musa as juga terjadi tatkala Musa as meningkat remaja. Penyebabnya: Musa as memukul Qibti, pemuda Mesir Kuno, penduduk asli. Akibatnya, pemuda tersebut mati.
Lebih geram lagi kemarahan Fir’aun pada Musa as. setelah ia mengetahui bahwa anak angkatnya itu “pemimpin revolusioner bangsa Israil yang mengancam kekuasaannya”.
Kemarahan Fir’aun dilukiskan di dalam Al Qur’an: “(Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita”. (QS. 26 As Syu’araa : Ayat 54, 55)
Namrud & Abu Lahab
Raja Namrud juga pernah marah-marah kepada Nabi Ibrahim as. Pangkal soal, Nabi Ibrahim as memporak-porandakan tuhan-tuhan Namrud yang berbentuk patung-patung. Luapan amarah Namrud dilampiaskan dengan membakar hidup-hidup Ibrahim as. Namun Nabi Ibrahim as diselamatkan oleh Allah dari panas api dan amukan amarah Raja Namrud.
Ketika Muhammad saw memproklamirkan kenabiannya, orang yang pertama kali marah adalah Abu Lahab, pemuka kaum Quraisy yang disegani. Amarah Abu Lahab memuncak setelah mendengar pernyataan keponakannya itu sebagai seorang Rasulullah, yang diutus untuk memperbaiki peradaban manusia yang bobrok.
Abu Lahab mendorong kemenakannya itu. Ia amat marah mendengar pernyataan Muhammad saw sebagai “Rasul Akhiruz Zaman”. Bahkan, dengan amarah yang meluap, Abu Lahab bertekad akan selalu menghalang-halangi “Syi’ar Islam”, sampai mati. Sifat dan sikap yang akhirnya mengundang murka Allah SWT. Firman-Nya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. 111:1-5).
Si Pelopor Sifat Ghodob
Sifat ghodhob merupakan benih kejahatan dalam diri manusia. Sifat tersebut tentu amat berbahaya. Bencana akan terjadi di muka bumi jika jiwa didominasi sifat ghodhob. Bahkan dampaknya akan berjejak sampai kehidupan di akhirat.
Sifat pemarah adalah penyakit jiwa. Manusia mendapat warisan sifat itu dari setan, dan setan mendapat warisan dari Iblis — pelopor sifat ghodhob.
Iblis pernah bersengketa dengan Allah. Pangkal masalahnya: Iblis disuruh bersujud sebagai tanda hormat pada Adam as. Namun Iblis menolak. Bahkan marah-marah di hadapan Allah. Alasannya, dirinya lebih mulia dibanding Adam. Adam dicipta Allah dari tanah, sedang ia dari api.
Amarah Iblis memuncak setelah ia mendapat murka Allah. Iblis pun berjanji akan menyesatkan Adam as dan anak cucunya sampai hari kiamat. Tentu, ajakan sesat Iblis dan pasukannya takkan mempan bagi manusia yang beramal saleh dan ikhlas karena Allah.
“Bukanlah orang yang kuat itu kuat bergulat, (tetapi) sesungguhnya orang yang kuat itu ialah orang yang dapat (mampu) menguasai nafsunya tatkala marah”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra.)
Jihadul Akbar
Jelaslah, sifat ghodhob amat berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia. Terutama bagi akidah. Sebab sifat itu dapat menumbuhkan kemunafikan, kefasikan, dan perbuatan jahat lainnya. Akibatnya, timbullah bencana yang akan merugikan. Bukan saja bagi orang-orang lain, tapi terutama bagi diri sendiri.
Maka, tidak ada satu obat penawar untuk penyakit ghodhob kecuali dengan mandi air ma’fu. Dengan kata lain, jika ada orang dirasa merangsang amarah, segeralah istighfar dan maafkan dia. Dengan memaafkan maka lenyaplah benih amarah dalam diri kita. Itulah kemenangan yang sebenarnya. Yakni kemenangan dalam memerangi hawa nafsu (Jihadul Akbar).
Rasulullah Sang Pemaaf
Sejarah menunjukkan, Rasulullah saw adalah Nabi yang dikenal amat pemaaf. Sifat itu tercermin antara lain ketika budak Habtsi membunuh paman beliau, Rasulullah saw tetap memaafkan si budak. Bahkan, tidak sedikit peristiwa yang menimpa Nabi, namun beliau tetap tidak menutup pintu maaf.
Ada peristiwa lain yang sangat mengharukan. Syahdan, suatu hari Rasulullah saw pernah dilempari batu oleh seorang pemuda musyrikin. Akibatnya, mulut beliau berdarah. Bahkan beberapa gigi beliau rontok. Bagaimana sikap beliau? Dengan sabar, beliau tetap saja memaafkan.
Melihat peristiwa itu, keruan para sahabat cemas. Ada juga yang geram. Tak ayal, salah seorang sahabat berkata: “Ya Rasulullah, engkau adalah Habibullah (kekasih Allah). Jika kau doakan celaka orang itu, maka akan celakah orang itu.” Apa jawaban Rasulullah?
“Aku dibangkitkan ke dunia ini bukan untuk mencelakakan orang lain,” sabda beliau. Bahkan, dengan penuh kesabaran kemudian beliau berdoa: “Allahummaghfir liqaumi fainnahum laa ta’lamun.” (“Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu siapa aku.”)
Obat Mujarab: Memaafkan
Sulit memang menghitung kalimat maaf yang telah terlontar dari mulut Nabi saw yang shiddiq. Sifat tersebut tentu juga tak lepas dari bimbingan dan petunjukNya.
Sebagaimana firman Allah: “Maka bersabarlah kamu (, hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan ketika berdoa, sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya)”. (QS. 68 : 48 )
Tugas Agama
2:19 PM
Tabiat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain meniscayakan adanya hubungan interaktif, sinergis dan mutualisme diantara sesamanya. Hal ini sangat penting dalam membentuk kehidupan masyarakat yang berkebudayaan. Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang mampu memhasilkan kebudayaan yang tinggi. Dan kebudayaan yang tinggi tercipta diawali dengan adanya egaliterianisme dalam masyarakat itu sendiri. Selama masih terjadi kesenjangan-kesenjangan sosial dalam masyarakat maka selama itu pula kebudayaan yang tinggi tidak akan pernah bisa tercipta.
Pemandangan kontras dalam suatu komunitas yang penuh dengan kesenjangan pasti secara otomatis akan menjadi satu miniatur kebudayaan rendah yang nihil dari nilai-nilai luhur sosial. Bayangkan jika disebelah kita masih banyak rumah-rumah reot sementara kita terus meninggikan bangunan rumah kita dengan dengan tiang-tiang pencakar langit. Atau pemandangan seorang yang sangat sibuk dengan pekerjaannya, bergelimangkan harta, sementara masyarakat di sekelilingnya rame-rame nongkrong di pos ronda kampung karena tidak mempunyai pekerjaan. Itu semua adalah sebagian dari contoh umum kehidupan sosial yang tak berkebudayaan. Yaitu kumpulan masyarakat yang kosong akan nila-nilai luhur kebudayaan.
Untuk membentuk satu masyarakat yang berbudaya maka harus dimulai dari komunitas yang terkecil. Masyarkat terdiri dari kumpulan komunitas-komunitas dan pembentukan kebudayaan pastinya akan dimuali dari komunitas-komunitas tersebut. Satu komunitas yang terdiri dari kumpulan manusia-manusia yang berbeda baik daerah, strata ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi semuanya berkumpul dalam satu lingkungan karena saling membutuhkan dengan yang lainnya serta adanya kesamaan visi dan tujuan. Jadilah ia komunitas kecil yang hampir mirip dengan keluarga. Misalnya dalam komunitas kos-kosan, komunitas pesantren, dan lain sebagainya.
Lebih spesifik lagi ada hal yang dapat membuat kehidupan sosial dalam satu komunitas menghilang. Sikap ananiyah atau egoisentrisme dalam diri seseorang akan mengakibatkan hilangnya stabilitas sosial komunitas tersebut. Ketika seseorang tidak lagi memiliki kepekaan sosial maka ia akan cenderung selalu melakukan sesuatu hanya untuk dirinya sendiri. Padahal salah satu kaidah umum tak tersurat dalam komunitas yang berkebudayaan adalah adanya sikap selalu mendahulukan kepentingan bersama dan sebisa mungkin menghindari sesuatu yang dapat merugikan kepentingan bersama.
Hilangnya sikap peka terhadap lingkungan menjadi awal dari hancurnya bangunan keharmonisan satu komunitas. Tentunya hal ini sangat bersifat subjektif karena sasarannya adalah individu dari setiap anggota komunitas tersebut. Sikap egoisentrisme atau ananiyah hanya akan membentuk pola hidup yang takberkemanusiaan dalam satu komunitas tertentu. Betapa menakutkannya sifat egois seseorang sampai dapat mengarah pada kehidupan yang tak manusiawi. Hal ini sangat wajar terjadi karena kehidupan bersama mengharuskan adanya komunikasi yang inherent. Rasa toleransi serta kesadaran untuk berbagi merupakan unsur pembentuk yang wajib terpenuhi dalam membentuk kehidupan yang manusiawi. Seandainya satu komunitas nihil dari unsur-unsur tersebut maka kehidupan yang sehat dan harmonis mustahil akan tercipta.
Kehidupan yang berkebudayaan hanya mungkin tercipta jika setiap individu di dalamnya mempunyai sifat toleran, sadar diri, peka terhadap lingkungan, dan kemauan untuk memanusiakan orang lain. Sifat-sifat tersebut tidak lain adalah oposite atau kebalikan dari sifat ananiyah atau egoisentrisme.
Selain membuang jauh sifat egoisentrisme dalam diri kita faktor lain yang penting untuk diperhatikan dalam kehidupan bersama adalah kesadaran untuk berbagi, dan kemauan untuk memanusiakan orang lain.
Kehidupan akan terasa dingin dan beku ketika tidak ada kesadaran untuk berbagi diantara setiap anggota komunitas. Juga kesadaran untuk tidak melakukan sesuatu yang akan berakibat merugikan orang lain. Contoh kecil yang menggambarkan betapa kesadaran untuk berbagi sangat penting dalam kehidupan bersama. Mungkin ada sebagian orang yang sangat muak dan tidak nyaman saat teman serumah atau sekamarnya selalu masak dan makan sendiri. Tanpa berempati kepada teman lainnya yang barangkali juga belum makan. Malah celakanya kalau ada teman lain masak dia ikut makan juga. Atau kesadaran untuk menutup pintu kamar mandi setelah menggunakannya. Hal-hal yang sangat sepele seperti ini terkadang tidak disadari oleh sebagian orang. Terkadang kita tidak sadar apa yang kita lakukan merugikan orang lain dan tidak baik untuk kehidupan bersama. Padahal inilah sebenarnya bibit-bibit sifat egoisentrisme yang tak manusiawi..
Macam & Jenis Penyakit Hati / Sifat Buruk - Iri Hati, Dengki, Hasut, Fitnah, Buruk Sangka, dan Khianat - Definisi & Pengertian
Posted by nurul febrian at 4:19 AM 0 comments